sepintas kecerewetan

Jumat, 04 November 2011

"Kalau bisa masuk IPA, kenapa harus masuk IPS?"

Itu kata-kata yang saya dengar dari seorang adik kelas pas SMA.  Jujur saya, saya jadi pingin ngomel-ngomel dan menegur dia. Mungkin bukan salah dia sih.  Barangkali orang lain yang mendoktrinasi kepalanya hingga ia percaya kalau IPA adalah pilihan utama dan raja diraja segala jurusan, sedangkan IPS, meh, apa itu IPS?

Dan sedihnya, saya juga pernah dibilang sama kakak kelas saya: "Masuk IPA aja! IPS mah sampah!" (kejam banget nggak sih!?)

Malah, guru saya sendiri bilang, "Kamu sebetulnya bisa masuk IPA.  Tapi ya terserah kalau kamu ingin ke IPS." (Maksudnya, kalau saya mampu dan pintar, masuk IPA saja.  Sayang kalau masuk IPS.  Eh, kenapa sayang? Saya kan doyan makan buku Sosiologi...)

Saya nggak ngerti, saudara-saudari, kenapa masyarakat memuja IPA seakan kita akan mengalami masa depan yang kacau balau dan kehidupan SMA yang sekedar hura-hura kalau kita tidak menyandang gelar anak IPA?  Dan kenapa anak IPS kadang masih berpikir bahwa dirinya hanya makhluk hura-hura yang tidak akan serius belajar kayak anak IPA? Dan tidak semua anak IPA serius belajar.  Dan bukan seluruh anak IPS yang kerjaannya main doang.

Banyak yang berpikir bahwa juara fisika strata sosialnya lebih tinggi daripada juara menggambar.  Atau, pemenang lomba kimia lebih dihargai daripada anak yang kesukaannya memotret gedung bersejarah.  Atau mungkin kebalikannya? Siswa-siswi akuntansi menertawakan anak-anak kelas biologi yang kerjaannya ngebedahin katak, contohnya? 

Pada dasarnya, IPA dan IPS nggak bisa dijadikan patokan penentuan cerdas/tidaknya seorang manusia! Jelas nggak! Perbandingin muncul jika objek dan subjek yang ditentukan sama tetapi punya nilai yang berbeda.  Misalnya, Buyung nilai Fisikanya 50, sedangkan Upik nilai Fisikanya 99.  Nah, kalau dari sini masih dapat terbukti, Upik pasti rajin makan nasi! Sedangkan Buyung buku Fisikanya dimakan kambing peliharaan eyangnya.  Kalau kayak gitu kan adil.  


Lah kalau ini:  kuis Bahasa Indonesia Jamin nilainya 0, sedangkan ulangan Geografi Johan dapat 100 karena dia memang suka Geografi.  Tapi apakah dari situ dapat terperinci, siapa yang lebih pintar? Ya nggak, kan? Pelajarannya juga bedaaa, kali! 


Jadi, kalau ada si Amir dan si Upik, dan Amir masuk IPA dengan nilai Kimia 80, sedangkan si Upik masuk IPS dengan skor akhir Sosiologi 80, apakah ada dari antara mereka yang dapat dibilang lebih pintar? NGGAK! Barangkali Amir sih memang suka ngutak-ngatik tabung reaksi, sedangkan Upik paling doyan nontonin orang-orang dalem angkot terus mikirin latar belakang mereka masing-masing dan pingin bikin tesis tentang itu.  Yah, minatnya aja beda, ngapain dibanding-bandingin? 


Maka sekarang, jika kalian dihadapkan dengan IPA atau IPS, jangan langsung teringat bahwa IPA berarti keren, IPS berarti santai-santai.  Basi ah! Ayo, emansipasi jurusan! Pilih yang kamu suka, bukan yang orang lain suruh kamu pilih.  Ambil jurusan yang dapat kamu nikmati pelajaran-pelajarannya.  Karena kamu akan menjalaninya selama 2 tahun, kawan-kawan! :D 








Sekian ceramah hari Jumat saya.  Selamat menetralkan kepala dari doktrinasi masyarakat yang terkadang nggak masuk hati.  :) 

Muah, muah! <3

4 komentar:

dunia kecil indi mengatakan...

memang jurusan itu seharusnya berdasarkan minat dan bakat. nice post :)

cbsowl mengatakan...

halo, halo,

sedikit membaca blog ini, jadi ingat masa SMA saya. haha,, saya sendiri dulu "bisa" masuk ipa. tapi saya memilih masuk ips. karena saya tau kapasitas saya.

jangan berkecil hati karena pilihan kamu..

*ah, apasih ini sok bijak*

Ningrum mengatakan...

Indi: Iya, betul banget. :)

Carolina: Saya sih dulu pilih IPS karena memang cintanya sama IPS. :) Semuanya tentang pilihan.

Anonim mengatakan...

Saya adalah saya, ANDA adalah anda...So.. Tempatkan dimana anda merasa SENANG.. Kunci Hidup adalah SUKA CITA... PISS ;)