Kampung Naga? Tentu kita semua pernah mendengar nama tersebut. Barangkali ada yang iseng-iseng menerjemahkannya ke Bahasa Inggris menjadi Dragon Village. Setelah saya berkunjung ke Kampung Naga pada pertengahan Januari lalu, saya menertawakan plesetan Bahasa Inggris tersebut. Tidak nyambung!
Ya, karena kampung adat yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya ini tidak ada kaitannya dengan naga —makhluk fantasi yang mulutnya mengeluarkan api— sama sekali. Ketika saya bertanya pada sang kuncen, ia menjawab, ”Naga itu artinya nagasari, makanan tradisional Sunda.”
Dalam penuturan sejarah Kampung Naga pun, tidak ditemukan sedikitpun kisah tentang hewan naga. Lucu. Ada pendapat lain yang berkata bahwa nama ”Naga” berasal dari bentuk atap nagawir rumah-rumah di Kampung Naga. Jadi yang mana yang benar?
Yang jelas, mereka memiliki leluhur bernama Singaparana—raja terakhir Kerajaan Galunggung—yang dahulu kala mendapat misi menyembunyikan benda keramat dari incaran pemberontak. Tibalah ia di lokasi dekat Sungai Ciwulan yang nampak tersembunyi. Setelah beberapa waktu, lokasi tersebut dikembangkannya hingga menjadi Kampung Naga.
Warga yang berada di sana disebut masyarakat Naga, sedangkan ada pula istilah sanaga yang diberikan untuk keturunan Naga yang terikat dengan adat karuhun. Tapi, dari mana nama ”Naga” berasal?
Ah, lupakan tentang nama Kampung Naga.
Seperti apakah Kampung Naga sebenarnya?
Jika kita ingin melihat Kampung Naga dari dekat, kita mesti menuruni 354 buah anak tangga yang cukup curam ke bawah. Karena saat kunjungan saya hujan turun, tangga tersebut menjadi licin sehingga membuat banyak orang terpeleset. Setelah tangga, kita harus sedikit berjalan kaki di tepi Sungai Ciwulan yang ditemani bukit dan hutan. Di pinggiran sungai pun nampak endapan tanah yang motifnya mirip kue marmer. Coklat-dengan hiasan coklat tua. Batu-batu besar juga nampak kokoh menghalangi arus sungai.
Hiasan khas yang pertama menyambut kami di depan Kampung Naga adalah toilet umum dari bilik berbentuk balok yang ukurannya hanya setengah badan serta diiringi kucuran air berada di atas sungai kecil. Sedikit jalan kaki lagi, tibalah kita di Kampung Naga. Pemukiman adat yang nampak sangat teratur. Mulai dari arah rumahnya (semuanya menghadap ke kiblat atau barat, sesuai aturan budaya Sunda), bentuk rumahnya—rumah panggung, atap rumah dari ijuk dan beberapa bahan lainnya sebagai lapisan bawah, juga warna putih kapur dinding rumah penduduk.
Hal langka dari Kampung Naga adalah budaya material masyarakatnya. Berbeda dengan orang kota, mereka tidak berlomba-lomba memiliki barang mewah, melainkan menyamaratakan kepemilikan! Masyarakat Kampung Naga menentang kesenjangan sosial. Alasan itulah yang membuat mereka menolak listrik masuk (di samping ketakutan mereka akan kebakaran) ke tempat tinggal mereka.
Tapi jangan salah sangka dulu. Saya masuk ke satu rumah warga di Kampung Naga, dan ternyata ada sebuah televisi di sana. Awalnya saya ingin tertawa. Bukannya mereka menolak listrik, ya? Menjawab kegelian saya, sang kuncen menjelaskan kembali, ”Kami pakai accu buat menjalankan televisi.”
Oh. Ternyata begitu. Pantas saja di bawah televisi terletak sebuah kotak accu.
Perkakas-perkakas penunjang hidup sehari-hari mereka pun semuanya bebas-listrik. Setrikaan masih kuno, yang dipanaskan dengan batu bara. Untuk memasak, mereka memanfaatkan kompor minyak tanah.
Bangunan rumah setiap keluarga pun sama. Dindingnya bilik, penyangga bentuk ’panggung’nya batu yang cukup besar, dan karena ada peraturan bahwa rumah tidak boleh dicat, maka masyarakat hanya mengapur dinding rumah saja.
Di dalam rumah, ada sebuah pintu kecil. Pintu kecil itu membuka lumbung mini milik keluarga yang tinggal. Tetapi, hanya istri dari kepala keluarga itu saja yang boleh membukanya. Alasannya: daerah dapur adalah wilayah perempuan.
Satu lagi. Tidak ada kursi di dalam semua rumah warga Kampung Naga. Alasannya sederhana: kalau ada seorang yang duduk di atas kursi dan seorang lagi di lantai, itu merupakan simbol kesenjangan sosial!
Kebudayaan di Kampung Naga
Soal kepercayaan, masyarakat Kampung Naga memang sangat ketat. Mereka memilki benda mirip bungkus ketupat berhiaskan dedaunan dan tumbuhan kering yang digantungkan pada daun pintu. Benda itu, kata mereka, adalah penolak bala yang harus diganti setiap perayaan Tahun Baru Islam. Mereka namakan itu: Tanda Angin.
Masyarakat memiliki ketentuan hari-hari baik juga buruk. Ada hari-hari di mana mereka tidak boleh ini dan itu. Tempat-tempat keramat dan terlarang pun masih ada untuk mereka. Hutan terlarang di sebelah Sungai Ciwulan, misalnya. Ada pula sebuah rumah terlarang.
Mereka juga secara rutin mengadakan upacara adat. Ada bermacam-macam upacara adat khas Kampung Naga. Serangkaian upacara yang dinamakan Hajat Sasih salah satunya. Upacara ini dilakukan untuk menghormati dan meminta berkah kepada leluhur juga sebagai kesempatan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keselamatan yang diberikan. Pada Selasa, Rabu, dan Sabtu mereka melakukan Upacara Menyepi.
Penentuan hari-hari keramat disesuaikan dengan hari-hari besar agama Islam. Kesimpulannya, mereka menjalankan agama Islam sambil tetap memegang adat asli mereka, sehingga kedua budaya tersebut selaras.
Gotong Royong dan Bersahaja
Masyarakat Kampung Naga jelas hidup secara bergotong-royong, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Dalam hal membangun rumah misalnya, mereka lakukan bersama-sama. Budaya ini mereka sebut ngadeugkeun imah, pendirian rumah. Pada saat memulai masa ini mereka mengadakan salametan. Acara pertama adalah para wanita memasak tumpeng bersama. Kemudian, tetangga diundang untuk makan bersama agar acara nantinya selamat. Acara kedua adalah acara tulak bala, dengan mengurbankan seekor ayam sebelum rangka rumah didirikan. Nantinya kepala, sayap dan kaki ayam dikuburkan di tengah tapak rumah dengan kepala menghadap ke timur. Darah ayam dioleskan pada bagian luar batu pondasi rumah, dan di setiap sudut rumah ditanam uang logam. Setelah rumah dibangun, acara salametan diadakan lagi sebagai tanda syukur.
Kebersamaan dan kesahajaan merupakan warisan leluhur yang tak bisa dipisahkan dari keseharian suku ini. Kita sebagai orang kota, orang modern bisa banyak belajar dari mereka.
n.b. Sebenarnya tulisan ini ditulis tahun lalu, dalam konteks mau saya masukkin ke buletin SMA saya dulu. Tapi setelah dikirim, eh, si buletin ganti format segala macem dan ini nggak jadi dimuat. Selagi beres-beresin isi PC yang sudah berantakan, saya menemukan laporan berikut dan akhirnya saya muat saja di blog! :D