Memang saya punya ketertarikan tertentu terhadap pengamen. Ada kalanya pengamen membuat saya takut, karena kadang mereka tampak jahil dan serampangan, tapi sebetulnya kadang saya ingin berteman dengan mereka--toh mereka sama-sama anak Indonesia juga, kayak saya, kayak kamu, kayak kita.
Nah, di Jalan Pasirkaliki, tepatnya di samping bangunan bergaya Bali bertajuk Bali Heaven yang isinya toko baju dan restoran serta spa, suka ada pengamen-pengamen nongkrong di situ. Ada yang main gitar, biola, jimbe kecil...macem-macem dan nggak tentu. Setiap minggu, saya pasti turun dari Sukajadi setelah les viola dan tentu saja, bersama Devika yang saya sayangi, saya harus turun di Pasirkaliki dan menyeberang menghadapi para pengamen tersebut.
Reaksi mereka melihat saya menggendong Devika, lumayan heboh. Pernah mereka teriak,
"Wah! Téh! Itu biola ya?"
Atau...
"Téh! Duet yuk!"
"Téh! Keren euy!"
"Téh, punya rosin* nggak?"
Semakin banyak pengamen yang kebetulan sedang nangkring, ya semakin ramai...
Dan saya selalu diam saja pura-pura nggak dengar, walau sebetulnya saya pingin tersenyum gembira dan menyapa mereka, kalau perlu ngamen bareng sampai sore...asyik! :))
Sayang saya terlalu malu untuk berbuat demikian. *tangisan memarahi diri sendiri
Sampai akhirnya, kemarin, tekad saya bulat. Sejak berangkat dalam keadaan hujan hingga pulang tanpa diiringi tetes air langit, saya berjanji tidak akan pura-pura budeg lagi kalau disambut oleh para pengamen penasaran itu. Dan ternyata, oh, ternyata, (Tuhan mengetahui tekad saya?) ketika saya menyeberang ke Bali Heaven, ada dua orang dari mereka yang langsung menatap saya. Di belakang mereka terlihat gitar-gitar yang juga seakan ingin berteman dengan Devika. Saya nggak menunduk malu atau lewat begitu saja.
Lalu salah satu dari mereka yang berdiri (satu berdiri, satu lagi jongkok merokok) tersenyum lebar dan berkata, "Téh, hayu duet!"
Nada bicaranya terdengar baik dan tulus. Saya ingin lompat, buka kotak Devika, dan main bersama mereka...yah, satu dua lagu keroncong atau pop bolehlah! Tetapi keberanian saya baru menginjak level satu: berani bersuara.
Saya pun menyahut sambil tersenyum cerah, "Kapan-kapan ya, A!"
Si Aa pengamen tertawa renyah dan mengangguk, "Oke!"
WAAAAAH! Saya sangat gembira! Entah kenapa gembiranya luar biasa sampai pas masuk angkot St.Hall-Sarijadi masih juga happy. Saya udah berani menjawab ajakan duet anak-anak pengamen itu! Aih! Ningrum memang anak Indonesia! <3
Demikianlah cerita singkat saya tentang satu cercahan tawa dalam kehidupan. :) Semoga si pengamen berbahagia dan tetap sejahtera dan bermusik (dengan caranya sendiri). Amin. Amplop. Ambokwe.