Ada apa dengan angkutan kota warna kuning jurusan Kalapa-Karang Setra sore ini?
Saya pulang dari latihan orkestra bersama si cantik viola. Ceritanya, turun dulu ke Karang Setra nyari angkot. Tapi nggak ada satu pun! Ya sudah, saya balik, berniat jalan ke arah bawah yang agak lebih jauh. Eh, pas mau ganti haluan, malah ketemu angkot kosong! Baru ganti shift ceritanya. Supirnya masih muda. Akang Sunda yang maceh.
Saya pun naik. Duduk di sebelah pintu. Tenang-tenang saja. Terus, di TOMODACHI, naik juga seorang ibu-ibu berumur pakai baju merah dan rok panjang serta sepatu pantofel kulit. Kami bahkan ngobrol, karena dia nanya: "Main...organ? Gitar? Di mana?"
Kata saya: "Ini biola, Tante. Main di Gereja Laurensius."
Nyambung-nyambungnya sih obrolannya sampai ke urusan Si Tante mau beli wortel di Carrefour sekalian beli pulsa. Katanya, di pasar harga wortel impor lebih mahal. Keluarlah kata-kata keramat si ceng go, go ceng, yang agak-agak kurang saya hafal. Di Sukajadi bawah, tiba-tiba masuklah seorang perempuan muda berbaju demikian: celana basket merah-biru + kaos toska ngejreng gambar muka orang gak jelas + sendal gitu. Awalnya dia terlihat biasa-biasa saja. Rambutnya pendek, ada poninya.
Hening.
Tiba-tiba dia mencondongkan tubuhnya ke jendela sebelah saya dan ngomong: "Ke Nav!"
Dan dia duduk lagi. Nunduk. Tangan dilipat. Pokoknya misterius. (dan saya bingung sendiri)
Lalu Si Tante tadi tuh turun. (Selamat belanja wortel, Tante! Hati-hati!) Tinggallah saya dan ada seorang bapak-bapak berwajah memelas, seorang mojang Sunda nu geulis, dan...kakak tadi.
Lagi hening-hening, ujug-ujug kakak tadi memandangi saya! Tatapan menghunjam, dan ngomong: "Ke Blitz Megaplex nggak usah cinta."
Astaga. Ngomongnya bener-bener ke depan saya, berlogat datar, dan serius. Sesudah itu, dia ucapkan kalimat tadi sekali lagi, dan nunduk lagi! Saya bengong. Bener-bener bengong.
Belum selesai, dia mendadak membuka kedua kakinya lebih lebar dan meludah ke bawa! Di dalam angkot! Otak saya nyimpulin: "Dia...terganggu." (ngerti maksudnya kan?)
Setelah itu, angkot sudah semakin penuh. Ada seorang mbak bertubuh tambun yang manis duduk di sebelah si kakak itu. Dia mah nggak tahu apa-apa. Baru setelah si kakak meludah lagi, dia kayaknya agak-agak serem sendiri. Apalagi, berikutnya dia diajak ngomong sama Si Kakak (kita panggil begitu sajalah ya)! Handphonenya dipinjam.
Si Kakak:"Pinjem dong. Miscall." (sambil main ambil aja)
Si Mbak Manis: "..."
Si Kakak ngomong di telepon! Bener-bener ngobrol. Tapi sepertinya sih, percakapannya dalam imajinasi. Dia seakan-akan ngomong sama cowok. Kayak gini nih:
"Gua ada di depan Alladin (es pisang ijokah?), Dunkin Donuts! Iya! Kan gua nungguin lu. Katanya mau dateng jam 2. Uang? Nggak. Ya, ya, gua ngutang dulu deh seratus, entar gua bayar. Iya."
*sebetulnya lebih panjang, tapi yang saya inget intinya itulah
Si Mbak Manis: (memandangi saya sembari bingung dan agak ketawa tapi juga takut)
Waktu Si Kakak berbicara, masuk pula seorang waria berbaju toska ke dalam angkot. Dandanannya menor! Tapi nggak tahu, ya. Matanya sedih. Sedih banget. Pula Si Kakak tadi, nada bicaranya kayak yang sedih, sakit hati. Tepatnya, lebih mirip kecewa. Aduh, dia pasti mengalami sesuatu baru-baru ini yang bikin dia error gitu. Sepertinya masalah hati, deh. Dan Si Waria, yang bikin terharu, dia mengelus-elus gantungan boneka di tasnya. Dibersihin dari debu ceritanya.
Saya pingin nangis.
Yang saya pikirin berikutnya:
1. Si Kakak tuh kelihatannya nggak bawa uang. Gimana kalau dia turun dan ditagih? Kira-kira supirnya bakal gimana dong?
2. Gimana kalau Si Kakak nggak turun dari angkot sampai dibawa muter-muter? Kemudian supirnya baru ngeh, dan jadi bingung?
3. Lebih serem lagi kalau Si Kakak nyasar ke tempat yang salah dan kenapa-napa. Haduh!
Tapi, ternyata supir angkotnya baik banget lho! Pas saya turun dan ternyata dia nggak ada kembalian dan saya udah kehabisan uang kecil, dia ngasih gratis! Ya ampun! Makasih banyak, Aa! Dan dia senyum-senyum aja. Baik banget deh. :)
Tapi gimana nasib Si Kakak Kenapa Oh Kenapa, dong?
Segitu beratkah mengatasi kesedihan, sehingga ujung-ujungnya jiwa kita terhasut untuk melupakan kehidupan dalam kesadaran?
Pandanglah langit, tersenyumlah! :)