Heuuuhhh! Saya...saya...nangis-nangis ditahan di Saung Angklung Mang Udjo, Padasuka, Bandung, Jawa Barat, INDONESIA! *oh, maaf, introduksinya agak dramatis ya?
Ceritanya gini nih. Pagi itu saya kedatengan sekeluarga saudara dari Jakarta. Ayah-ibu dan satu anak usia 5 tahun. Mereka kepingin ke Saung Angklung Mang Udjo. Saya mah langsung kepingin ikut, berhubung memang udah lama sangat amat ngidam mengunjungi tempat tersebut.
Walaupun gara-gara itu, saya jadi bolos latihan orkestra... (maaf).
Kronologinya, kami (yakni ayah-ibu, Om Iwan & Tante Sylvi & Ansell) berangkat jam satu siang kurang sesudah makan gudeg di rumah saya. Saya udah bawa-bawa viola aja. Ekspektasinya mau latihan, soalnya. Tau-tau semua orang mulai menggojlok saya untuk MEMBOLOS. Percaya atau nggak, dari kecil, sejak kenal yang namanya sekolah, saya jadi mabalfobia. Nggak tau kenapa, itu téh! Pokoknya saya punya konsep yang menyatakan bahwa...sekali mengabdi, jangan membelot. Setiap hari sekolah pasti ada maknanya. Setiap hari ikut kursus pasti nggak pernah sama. Setiap hari berbeda. Itulah yang bikin saya gelisah kalau misalnya sakit atau apa sampai mesti bolos sekolah/les/lainnya. Rasanya jadi ketinggalan, dan perasaan juga nggak enak...rasanya salaaaah banget! Hahahahahaha! Kasusnya mirip sama kebiasaan saya buang sampah mesti di tempat dan mesti di tong yang benar sejak kenal klasifikasi sampah.
Saya memang kadang penurut banget, kalau melihat sesuatu yang saya pikir baik adanya.
Katanya orang Melankolis gitu, sih. Suka mengabdi, bahkan meskipun alasannya tidak rasional.
Eh, nilai rasio (akal sehat) saya di tes IQ SMA kemaren cuma 3 dari 5, lho.
Oke, ini mah bisa dibahas lain kali!
Di mobil itu, saya diiming-imingi untuk bolos latihan. Soalnya latihan 'kan jam 1-4, sedangkan pertunjukkan di Saung Angklung Udjo berlangsung pukul setengah 4 sore. Lagian, semua orang tau saya kepingin banget nonton--sejujurnya. Terutama Mama. Hahaha!
Tau nggak? Akhirnya saya bolos juga... (huaaah maaf!)
Mula-mula kami ke Batik Komar dulu di Cigadung. Udah puas lihat-lihat dan main sama Ansell, beli gelang kain-batik-lapis-aklirik, barulah kita berangkat ke Saung Angklung. Pertamanya sih saya baru yang senang-senang di toko suvenirnya. banyak barang lucu. Alat musik Sunda. Seruling, jimbe, kecapi, angklung, kliningan, bonang kecil, goong kecil...ih, menyenangkan! Di toko suvenir aja udah kalap gitu saya.
Nah, kami nonton pertunjukkan Angklung Petang, yang dibuka dengan gamelan pengantar Wayang Golek, yang kerennya setengah hidup. Nadanya bagus, terus para pemain nampaknya begitu ciamik, terutama pemain kendangnya. Penuh semangat! Keren abislah pokoknya.
Wayang Goleknya pun nggak kalah seru. Ceritanya rada nggak jelas sih. Tapi menyenangkan untuk ditonton...yah, adegan Cepot mukulin si botak ijo dan si muka jahat, dan betapa terampilnya si dalang (lupa namanya...Ki siapa, gitu) memainkan bonekanya, bikin perasaan jadi senang. Padahal isinya kekerasan sih. Ah, sudahlah.
Nah, habis Wayang Golek ada anak-anak kecil main kuda lumping. Lucu-lucu deh. Cowok-cowok berempat, terus...muncullah anak cowok kecil akting jadi raja, diangkut pakai semacam singgasana yang bisa diangkut-angkut mirip tandu gitu, diikuti puluhan anak kecil berpakaian warna-warni bawa angklung, dan di detik itulah ujug-ujug saya terharu sampai pingin nangis! Suaranya angklungnya enak, gamelannya bagus, ekspresi mereka oke banget, dan suasananya megah gimana.
Pokoknya saya bener-bener nangis-ketahan!
Mereka mainin lagu apa...juga ada yang nari-nari berpasangan, bikin saya teringat pada acara Untukmu Indonesiaku di Gedung Kesenian Jakarta bulan Juli tahun lalu. Tariannya ya gitu. Diiringi lagu-lagu Sunda, salah satunya Tokecang.
Aduh, bagus bangetlah.
Sesudah yang itu, masih ada arumba, terus salah satu yang paling bagus juga Tari Meraknya. Mantap suratap! Saya begitu ngelihat gitu, berasa secara visual dimanja, secara batin dihibur, dan secara mawas diri disadarkan sebagai warga Zamrud Khatulistiwa yang punya banyak tarian indah...bikin saya tak sengaja berkata: "Kalau udah lihat yang gini, modern dance apa bagusnya, coba?"
Nggak bermaksud ngehina sih, cuma mendadak saya mendapatkan bentuk keindahan baru. Ya Tari Merak itu, yang bajunya indah, gerakannya benar-benar merak banget, cantik, anggun, apalagi ketika bulu-bulu merak yang indah sedang mekar. CUANTIKK!
Masih banyak suguhan lagi yang ditampilkan, termasuk orkestra angklung yang rupanya udah keliling dunia segala, terus kami belajar main angklung juga, ditemani sama dua cucu Mang Udjo (ganteng dong, padahal masih kecil-kecil). Bagus juga lho, teknik petunjuk nadanya. Seperti meresapi studi jangkauan nada lewat gerakan tangan! :)
Nah, di ujung acara, kami diajak nari bareng ke tengah-tengah saung. Saya kebetulan banget berpasangan dengan salah satu penari merak. Mulai dari gandengan tangan doang, main ular naga, main Injit-Injit Semut, Auld Lang Syne bahasa Indonesia, goyang kiri-goyang kanan-putar ke kiri-putar ke kanan, wah, saya malah tambah terharu coba.
Yang lucu adalah: ternyata Mama juga pingin nangis katanya, pas nonton mereka semua, anak-anak pelajar Saung Angklung yang luar biasa.
Satu hal yang istimewa juga, saya jadi sadar, kita orang Indonesia tuh memang sebetulnya potensial sekali jadi teladan perdamaian dunia. Lihat aja, kita libur nasional 'kan gara-gara punya banyak agama dan kepercayaan, yang hari-hari besarnya dijadikan semacam 'milik bersama', bahkan dirayakan bareng-bareng! Lihat aja toko-toko: kalau lagi Lebaran, Natal, Tahun Baru Imlek, dan hari-hari penting Nasional seperti Kemerdekaan dan lainnya, sama meriahnya! Semua orang ikut happy, nggak peduli itu urusan pribadi/golongan/kaum/kalangan mereka atau bukan.
Sebetulnya kita sudah punya sifat saling menghargai, 'kan? Cuma kadang-kadang ada yang gengsi dan keukeuh nggak mau merasa bahwa kita sudah hidup dengan sangat amat berbaur di negeri ini, negeri warna-warni penuh cinta.
Ayolah, buat apa sih saling ngebedain dan menutup diri? Be real. Kalau mau hidup penuh sukacita di Indonesia, ya, mesti santai dan wajar melihat banyak sekali belang-belang di sana-sini. Memang mestinya anak Indonesia dari kecilnya dididik supaya hidup berbaur dan bebas dari konsep bahwa apa yang dianutnya paling benar.
Semuanya benar kok... Semuanya. Semua budaya, agama, kepercayaan, semuanya oke. Toh, kalau dipikir-pikir, kita, misalnya, kenapa punya kebudayaan A dan begitu percaya sama budaya A itu, mungkin orang dari budaya B bingung...kenapa kok gitu? Tapi kita juga menanyakan hal yang sama pada si B. Jadi sama aja 'kan? Bener-bener saling bertanya, dan...ya udah, nggak usah dibesar-besarin jadi konflik.
We're just different, but opposite attracts.
Karena itulah Indonesia punya keajaiban sifat kompromi yang besar. See? Kita sudah punya bibit rasa kompromi, karena turun-temurun diberikan budaya kompromis. Kenapa nggak dijadikan dasar dalam bermasyarakat juga?
Oke...menyimpang. Tapi anggaplah itu juga salah satu hal penting. Hahaha! PENTING SIH, kalau menurut saya.
Mumpung masih positif, saya punya fakta lucu. Bahwa orang-orang di sini pun punya kesadaran untuk melakukan 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Contohnya nih, tukang gorengan gerobak yang kita sering jajan, selalu pakai bungkus dari kertas fotokopian lho! Mereka nggak milih, lagi. Ada yang isinya soal ulangan, surat kuasa, akte lahir, daftar peralatan kantor, tabel keuangan, dan masih banyak. Tapi semuanya bekas, jadi nggak membutuhkan energi produksi dan menunda masuknya limbah baru ke TPA.
Saya pikir asyik juga lho, kalau ada yang ternyata bungkus gorengannya...surat cinta difotokopi.
1. Asyik buat dibaca.
2. Ngapain ya surat cinta difotokopi? Buat kenang-kenangan?
Lucu banget deh. :)) Kalian semua keren, penjual gorengan! :)