sepintas kecerewetan

Rabu, 29 Februari 2012

Teman Baru: Si Pengamen

Memang saya punya ketertarikan tertentu terhadap pengamen.  Ada kalanya pengamen membuat saya takut, karena kadang mereka tampak jahil dan serampangan, tapi sebetulnya kadang saya ingin berteman dengan mereka--toh mereka sama-sama anak Indonesia juga, kayak saya, kayak kamu, kayak kita. 

Nah, di Jalan Pasirkaliki, tepatnya di samping bangunan bergaya Bali bertajuk Bali Heaven yang isinya toko baju dan restoran serta spa, suka ada pengamen-pengamen nongkrong di situ.  Ada yang main gitar, biola, jimbe kecil...macem-macem dan nggak tentu.  Setiap minggu, saya pasti turun dari Sukajadi setelah les viola dan tentu saja, bersama Devika yang saya sayangi, saya harus turun di Pasirkaliki dan menyeberang menghadapi para pengamen tersebut. 

Reaksi mereka melihat saya menggendong Devika, lumayan heboh.  Pernah mereka teriak, 

"Wah! Téh! Itu biola ya?" 

Atau...

"Téh! Duet yuk!" 

"Téh! Keren euy!" 

"Téh, punya rosin* nggak?" 

Semakin banyak pengamen yang kebetulan sedang nangkring, ya semakin ramai... 
Dan saya selalu diam saja pura-pura nggak dengar, walau sebetulnya saya pingin tersenyum gembira dan menyapa mereka, kalau perlu ngamen bareng sampai sore...asyik! :)) 

Sayang saya terlalu malu untuk berbuat demikian.  *tangisan memarahi diri sendiri 

Sampai akhirnya, kemarin, tekad saya bulat.  Sejak berangkat dalam keadaan hujan hingga pulang tanpa diiringi tetes air langit, saya berjanji tidak akan pura-pura budeg lagi kalau disambut oleh para pengamen penasaran itu.  Dan ternyata, oh, ternyata, (Tuhan mengetahui tekad saya?) ketika saya menyeberang ke Bali Heaven, ada dua orang dari mereka yang langsung menatap saya.  Di belakang mereka terlihat gitar-gitar yang juga seakan ingin berteman dengan Devika.  Saya nggak menunduk malu atau lewat begitu saja.  

Lalu salah satu dari mereka yang berdiri (satu berdiri, satu lagi jongkok merokok) tersenyum lebar dan berkata, "Téh, hayu duet!" 
Nada bicaranya terdengar baik dan tulus.  Saya ingin lompat, buka kotak Devika, dan main bersama mereka...yah, satu dua lagu keroncong atau pop bolehlah! Tetapi keberanian saya baru menginjak level satu: berani bersuara.  
Saya pun menyahut sambil tersenyum cerah, "Kapan-kapan ya, A!" 

Si Aa pengamen tertawa renyah dan mengangguk, "Oke!" 

WAAAAAH! Saya sangat gembira! Entah kenapa gembiranya luar biasa sampai pas masuk angkot St.Hall-Sarijadi masih juga happy.  Saya udah berani menjawab ajakan duet anak-anak pengamen itu! Aih! Ningrum memang anak Indonesia! <3 

Demikianlah cerita singkat saya tentang satu cercahan tawa dalam kehidupan.  :) Semoga si pengamen berbahagia dan tetap sejahtera dan bermusik (dengan caranya sendiri).  Amin. Amplop.  Ambokwe.



Jumat, 24 Februari 2012

Hobi: Menggambar (Cowok Ganteng)

Jadi saya baca-baca majalah, terus nemu wajah yang asyik untuk diabadikan dalam bentuk sketsa pensil warna-cat air. :D 



Model pertama nongol di majalah Girlfriend Indonesia edisi Februari 2012, namanya Dede.  :D 

Dan yang berikutnya saya lihat di majalah Street Jack, semacam katalog Jepang, edisi September 2011.  Entah siapa namanya! 

Saya suka banget wajah mereka! Hahaha. 

Entah apa yang harus saya tulis, maka saya promosikan saja dua tempat main saya yang lain. 

Ingin membaca cerita-cerita seru penghangat hati? Klik yang ini.  

Jika hendak bercentil-centil sambil melestarikan Bumi dan isinya, mari kemari

;) 


Minggu, 19 Februari 2012

Aplaus Untuk Dua Anak Ini

Masih urusan hitam putih piano olala, saya tuh baru diminta ngiringin dua anak SD yang ikut audisi Musici Parvi di Bandung.  

Naah, dua anak yang mesti saya temenin itu adalah Anchel dan Elaine.  Mereka kelas 5-6 SD.  Main klarinet-seruling.  Mereka juga anggota SLCO, orkestra tercinta (yang kemarin ngarurusuh di Katedral), dan tentu saja menjadi 'santapan' Kak Alia yang doyan anak kecil.  

Setelah saya bekerjasama dengan mereka, mereka datang ke rumah dan latihan, saya benar-benar menyadari betapa kerennya mereka! Haha! Oke, klarinet dan seruling bukan alat yang begitu mudah dimainkan dan umum, seperti...gitar, misalnya.  Alat tiup butuh semacam kekuatan nafas tertentu, bentuk bibir tertentu, dan kadang mengorbankan sedikit di awal-awal pembelajaran (misalnya nih, main klarinet pertama-pertama bibirnya sakit dan luka, soalnya harus nahan si 'buluh' atau apa deh namanya).  Yah, sama kayak waktu saya belajar viola pertama-pertama, jomponya kayak orang baru senam tujuh hari tujuh malam, sampe susah bangun dan seharian pegal-pegal tak jelas...  Namun mereka melewati semua itu dan dengan setia tetap menganut apa yang sudah mereka ingin pelajari sejak awal.  Sampai dua-tiga tahun lewat, mereka semakin mahir tanpa banyak keluhan.

Mereka mampu mempelajari lagu yang cukup sulit dalam waktu 2/3 bulan, dan dengan adem ayem tidak grogi waktu audisi...wah, saya aja pengiringnya agak-agak gimanaa, takut salah pencet.  

Oh, lagi-lagi saya menyaksikan anak ajaib! 

Mumpung topiknya masih musik, saya waktu itu nonton resital gratis Marie Vermeulin, yang membawakan karya Debussy (oh so iresistible!) dan Messiaen.  Beliau adalah wanita yang manis dan imut, tapi mainnya kayak maestro seantariksa. JAGO! BAGUS! Tapi tetap penuh rasa dan warna.  

Lokasi resitalnya di IFI, Institut Français Indonesia, nama barunya CCF Bandung! ;)  Bicara soal IFI, kemarin saya baru ujian (lagi) kenaikan tingkat! Soalnya...yah, susah-susah gampang, gampang-gampang-sulit, dan seperti biasa paling aduhai bagian mendengarkan.  Sampe diulang 4 kali pun belum terjadi peningkatan signifikan di kertas isian.  Tapi lumayanlah... 

Demikian sekilas info.  Layangkan kritik dan saran Anda ke bawah pos ini, alias kotak komentar.  

Jangan lupa mampir ke sini ya. :)


Sabtu, 18 Februari 2012

Sketsa Sketsa Karmel



Pohon angsana 
dan 
Mang Uli yang sedang bekerja menggerinda patung adegan penyaliban Yesus.  

karya
ik

 


Selasa, 14 Februari 2012

Salam Sayang dari Ibu Bumi



selamat 
hari
kasih sayang

semoga 
hari-hari berikutnya
tetap
dipenuhi 
semarak cinta

dan 
camkan 
bahwa
Bumi
juga 
ingin dicintai. 


*seperti diposkan juga di sini.

:*

Minggu, 12 Februari 2012

Si Oui (baca: Uwi)

Sebagai pembuka, bacalah dulu kisah berikut: 


Cerita Bibip
 
Pada suatu hari, yaitu hari ini, tepatnya kira-kira pukul sepuluh pagi Sabtu tanggal 3 April 2010, ada kejutan lucu di rumah saya.  Masa, bisa ada burung entah dari mana masuk ke rumah!  Warna bulunya putih bercampur kuning mentega, diselingi kelabu karena debu, terutama di wajahnya yang lugu itu. Bangun tubuhnya gemuk.
Waktu pulang dari latihan orkestra, saya kaget karena burung tersebut bertengger di atas sandaran sofa rumah.  Saya sampai takut gerak, bisi kabur dengan kalapnya.  Tapi, waktu didekati, ternyata dia tenang-tenang aja!  Jadi, ya, saya melakukan aktivitas seperti biasa aja.
Sebuah ide lalu muncul di kepala saya: gimana reaksi burung jinak ini kalau dengar musik, ya?  Akhirnya saya nyalakan piano listrik saya, dan memainkan Sonata K332 dari Mozart.  Eh, di tengah-tengah lagu si burung menclok di atas tuts piano dengan cueknya!  Saya ketawa-ketawa.
Waktu saya berdiri juga, dia sempat terbang, panik, dan menclok selama sedetik di atas kepala saya.  Wah!  Manis banget! Selama beberapa saat, kelakuan dia lucu juga.  Malah, Abang muncul dan main sama dia dari jarak jauh, sampai memberinya gelar: Bibip.  Ngasal banget, deh!
Tapi dasar burung, sempat dia kelepakan di udara dalam ruangan rumah saya, menclok di jendela, dan tiba-tiba melakukan panggilan alamnya (baca: buang-buang sisa makanan yang tidak diserap tubuh)!  Dan kelakuannya itu dilaksanakan 2 kali di hadapan saya semua!  Dasar!
Papa dan Mama berusaha nangkep itu burung dengan keranjang pakaian.  Maksudnya mau disuruh makan nasi, terus dikurung, didorong ke pintu halaman belakang biar dia terbang.  Namun saban kali kita mau ngecup dia, dia langsung terbang!  Ya udah, deh, semuanya nyerah.  Sepanjang siang dan sore, Bibip seliweran di rumah.   Waktu saya belajar buat UAS sambil denger lagu Funny Little Dream, dia nyamperin saya gitu.  Lucuuu! Pingin dipelihara.  tapi dia hobi bertugas alam, jadi...kebayang deh betapa baunya rumah saya kalau dipelihara di dalam.  Ugh!
Detik-detik berlalu.  Berbagai usaha konyol sudah dilakukan oleh saya dan Mama dalam rangka membebaskan Bibip.  Namun apa daya, si Bibip betah banget keluyuran di rumah saya.   Akhirnya kami mengikhlaskan Bibip untuk bertingkah sekehendaknya sendiri aja.  Terserah deh dia mau apa!  *haha kayak pundung sama anak pembelot
Begitu diberi kebebasan, Bibip tiba-tiba aja jalan ke dekat pintu belakang.  Saya dan Mama buru-buru bergerak cepat.  Ditutuplah pintu ke ruang tamu, ditutuplah pintu dapur, dan saya pun membuka pintu halaman belakang lebar-lebar.  Tadinya Bibip diem aja, nggak nyadar bahwa di hadapannya ada kebebasan.  Waktu saya diemin, tiba-tiba dia celingukan di atas pipa air .  di halaman belakang! BRAVO!
Kami pun berpisah dengan Bibip.  Tanpa sempat memotretnya, karena kamera entah ada di mana.  Sampai jumpa, Bibip yang jinak! Semoga kau selalu sehat dan riang di udara!  Kapan-kapan mampir lagi.  Asal nggak kejebak di dalam kembali.  :D
 
Itu sudah bertahun-tahun silam (ya nggak sih, cuma setahun lebih! Hehe.) Kadang-kadang saya kangen sama dia saking sebentarnya kami berjumpa. :P 
Nah, kemarin sore, pas si Papa mau nyemprot kamar saya dengan obat nyamuk, eh, tiba-tiba Papa teriak, "NING! Burung tekukurnya duduk di jendela kamar kamu!" 
Ya, kami memang suka meneriaki para burung tekukur dengan, "Prikitiw!" karena kadang nyanyiannya terdengar seperti itu. :)  Tapi yang jelas, para burung tekukur memang suka ikutan makan nasi bersama burung gereja.  Bisa dibilang kami memelihara burung itu secara pasif. *turunan Engkong
 
Oke, soal si tekukur satu itu yang akhirnya saya panggil "Oui" entah kenapa--cuma lantaran enak disebut saja, dia begitu gendut dan warnanya putih mirip merpati, tapi mukanya bukan muka merpati.  Apalah itu.  Intinya, dia mojok di lubang ventilasi, di balik kawat kasa tipis yang dipasang di dinding kamar, semalam suntuk! Saya nggak ngerti dia ngapain.  
 
Praduga pertama sih, karena dia tahu mau ada hujan besar.  Memang bunyi gemuruh sudah terdengar, dan angin mulai berderai.  Barangkali burung lebih mengerti.  Makanya dia berteduh.  Benar saja, sekitar pukul sepuluh, memang hujan BESAR.  Cuma sebentar, tapi ya nggak tahu juga, wong saya ketiduran juga.  
 
Paginya, dia masih di situ! Sepertinya tidur.  Ketika tombol lampu saya nyalakan, dia lompat kaget, tapi lantas tenang kembali dan tahu-tahu cuci muka, gosok-gosok sayap, cuci-cuci kayak kucing, dan setelah berputar-putar sebentar dan nampak menyimak nyanyian burung-burung lain, tiba-tiba dia memandang saya sebentar dan terbang begitu saja.  Waktu saya cek dari halaman belakang, rupanya dia masih di atas genting, melayangkan pandang sembari menghirup udara pagi serta menyimak celotehan kawan-kawannya, sembari cuci-cuci badan.  
 
Siang tadi, saya tak melihat Si Oui lagi.  Namun saya harap dia baik-baik saja dan tak ditangkap orang. :) Terima kasih sudah mengunjungi saya, Oui! :* 
 
N.B. Hai, para hewan, kalian boleh kok nginep di rumah saya, kalau mau berteduh, berlindung, dan takut diburu, udah, ke sini saja, bebas kekerasan. :) #seandainya mereka bisa baca blog ini 
 
 

Jumat, 10 Februari 2012

hitam putih

Oke, kalau tempo hari 'hijau', sekarang 'hitam putih', lantaran saya kebanjiran partitur! 

Dan lebih spesifiknya, partitur untuk piano.  Entah kenapa mendadak saya diberkati dengan disuruh ngiringin, diminta magang, dan dikasih PR seabrek.
Makanya, pemandangan saya jadi hitam putih. Dua mata saya bergantian memandang dari atas ke bawah--dari partitur ke tuts piano.  Partitur tidak berwarna, dan tuts piano hitam putih seperti zebra.  

Tapi tenang, 
walau setiap hari saya harus meladeni si hitam putih, saya tetap hidup hijau kok. :) 

Sudah hidup hijau hari ini?

Jumat, 03 Februari 2012

H.I.J.O

Ayo, coba dieja: Ha-I-Je-O.  Hijo.  Asalnya dari Bahasa Kawi yang berarti 'hijau' alias midori atau vert atau green, sebuah kata paling 'sesuatu' belakangan ini.Sudah banyak produsen benda-benda yang menurut saya memuaskan dalam hal produksi benda-benda berunsur 'hijau' atau setidaknya 'lebih hijau', dan untuk itu, saya iseng memamerkan tiga produk yang saya beri salut untuk niat baiknya: 


Menggunakan surfaktan yang dalam diuraikan tanah, menurut saya itu pencapaian yang bagus, dan menjadi alasan saya untuk menggunakan Rinso yang satu ini di rumah. :)

Tanpa tambahan gula dan pengawet.  Sayangnya, bukan asli buatan Indonesia.

Mi sehat berbahan dasar green barley, tanpa MSG dan mengandung lebih banyak kebaikan! Dulu saya biasa beli KOKA (yang juga bebas MSG), tapi yang satu ini buatan Indonesia, maka saya berpaling begitu saja. :)


Apa kalian menggunakan salah satu produk yang saya daftar di atas? 


Nah, kenapa saya ngedadak ijo? Soalnya, sekarang Bulan Februari, bulannya cinta, kata orang-orang.  Tapi saya kan nggak punya acara gede-gedean, pacar pun tak ada.  Hahaha. :)) Akhirnya, saya memutuskan untuk mendedikasikan Hari Kasih Sayang 2012 untuk Bumi, dan bukan hanya tahun 2012, tetapi selamanya selama masih tinggal di Bumi! :D 
Setuju, nggak? ;)


foto-foto saya minta dari Mbah Google. J'ai Googlé.

Rabu, 01 Februari 2012

Yahu, Indonesia!

3 Pertanyaan Tentang Indonesiaku Tercinta: 

1. Mengapa kita tidak memberlakukan dumping? Harga produk buatan lokal dimurahkan untuk rakyat, dimahalkan untuk luar negeri.  Mungkin maksudnya mau membuat orang sini lebih menghargai karya anak bangsa? Tapi kalau daya belinya belum cukup, ya, percuma juga.  Lagipula, sikap mencinta produk 100% dalam negeri sebetulnya terjadi secara alami kok.  Bahkan bisa tumbuh lebih subur jika harganya terjangkau!

2. Kenapa sebagian besar orang yang berada di kursi pemerintahan langsung lupa daratan dan bukannya mengayomi rakyat, malah mempermewah gedungnya? Konyol banget deh.  

3. Untuk apa orang-orang itu berdemonstrasi membuat kerusuhan hanya supaya dapat berteriak-teriak minta agar pengemudi mobil Xenia dihukum mati? Oke, dia memang salah sih, mabuk dan menyetir, tapi kenapa pula judul beritanya 'kasus penabrakan'? Dia nggak sengaja! Itu namanya tabrakan, ketabrak, tertabrak.  Lagipula, mengeksekusi dirinya tidak akan menyelesaikan apa-apa.  Dia nggak akan belajar apa-apa, hidupnya selesai, dan dia tak punya kesempatan memperbaiki dirinya atau menebus bebannya.  :'( 

Je t'aime, Indonésie.  Yang tabah ya.  :)